Written by Pinto Anugrah
Tanpa daftar isi, begitulah buku ini adanya, diawali oleh prolog, diakhiri oleh bab 16. Terdiri dari 206 nomor halaman, ukuran buku 13x20 cm, cetakan pertama pada Maret 2018, dan diterbitkan oleh MOJOK.
Jujur
bingung mau nulis apa tentang buku ini, kalimat pertama yang akan kalian
temukan saat memasuki isi buku:
“Di
langit terberita
Di
bumi menjadi kabar
Kisah
orang kami kabarkan
Dusta
orang kami tidak ikut serta”
Jemput
terbawa, maksud hati hendak menjemput kebahagiaan yang terbawa justeru
kenyataan pahit. Namun, selalu ada rasa bahagia dalam setiap perjalanan hidup.
Percaya, percaya!
Sesungguhnya
aku tidak begitu yakin dengan apa yang ku tafsirkan dan maksud Uda Pinto
Anugrah dalam isi buku ini. Alur cerita maju dan mundur, latar tempat di sebuah
desa, Lembah Pagadih, Agam, Sumatera Barat. Buku ini sungguh sangat kompleks,
mengisahkan pahit hidup Siti Kalaya a.k.a Laya yang bertemu Mak Ujang, Nurselah
dan Pajatu yang merupakan ibu dan ayah Laya, ada Etek Nian (Adiknya Nurselah),
dan ada pemangku adat Minangkabau, Datuk Bano dan Ande Nene, serta ada dua
legenda Minangkabau. Ku hanya ingin kalian yang membaca tulisan ini, juga
membaca buku ini, agar kita sama-sama berpikir, mencerna setiap alur cerita
yang kompleks ini dan cukup membuatku bingung harus mulai dari mana, dan hingga
akhir akupun masih bingung bagaimana akhir cerita semua ini.
Kita
akan menemukan sebuah kehidupan yang melekat dengan adat istiadat Minangkabau
dan sebuah proses asal mula keturunan digariskan oleh ibu.
Buku
ini sungguh sangat menarik untuk dipahami.
Akan
kumulai dari sini, dan menghilangkan rasa bingung ini.
Laya
adalah seorang gadis yang tinggal di Jakarta, yang memutuskan pulang kampung
untuk menemui ibunya, Nurselah. Setelah ia menerima koper milik ayahnya yang
berisikan surat-surat ayahnya untuk ibunya.
++
Nurselah
dan Pajatu adalah suami-istri yang berbahagia, pengantin yang sedang
hangat-hangatnya membangun rumah tangga yang baru seumur jagung, menempati
rumah dinas baru dan jabatan baru bagi suaminya sebagai wali kota, kebahagiaan
tiada banding menemani hari-hari mereka. Namun waktu tidak berpihak kepada
mereka, tahun 1958, Ahmad Husein mengultimatum Jakarta, melawan Soekarno, dan
mengangkat Pajatu sebagai Pimpinan Revolusioner bersama Mr. Syafruddin
Prawiranegara sebagai Perdana Menteri. Sejak saat itu, kehidupan sudah tidak
sama lagi, tidak ada kedamaian, tidak ada kebahagiaan, ia meninggalkan rumah
dinas, kabur bersembunyi-sembunyi, terpisah dari suaminya, dan tinggal di
pelosok yaitu Kampung Lembah Pagadih. Padahal cita-citanya untuk menjadi
seorang ibu belum terwujud.
Bagaimana
selanjutnya?
Apakah
Nurselah dan Pajatu akan dipertemukan kembali?
Jawabannya
akan ditemukan pada buku Jemput Terbawa, worth to read!
Komentar
Posting Komentar