Langsung ke konten utama

Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya

Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya

Kisah Sufi dari Madura

Written by Rusdi Mathari



Ikon BEST SELLER di kanan atas bikin penasaran sama buku dengan judul menarik ini, buku yang aku pegang sekarang adalah cetakan kesebelas pada September 2020, dan cetakan pertama pada September 2016. Masih dari penerbit Mojok, tebal 226 halaman dengan warna sampul hijau telur asin, kategori buku ‘agama’.

Aku suka buku ini, sangat menyentuh dan bikin pembaca berpikir dari setiap obrolan-obrolan tokoh utamanya, Cak Dlahom, Mat Piti, Romlah, dan tokoh-tokoh lainnya. Buku ini di bagi dua sesi cerita pada Ramadan Pertama dan Ramadan Kedua.

Di halam XVII dijelaskan, nama Dlahom diambil dari diksi Jawa Timur yang kira-kira artinya ‘agak bodoh’, sama seperti tokoh yang digambarkan, atas refleksi Cak Dlahom sendiri mengenai pengetahuan manusia atas agama dan Tuhan.

Pada tertentu, ada petikan quotes yang menceritan bab tersebut, yang bis akita jadikan bahan perenungan untuk diri sendiri, aku tulis dua kutipan yang bisa bikin kita merenung dan istigfar, ya Allah…

Ramadan Pertama.

Hal. 30

“Aku juga tak berani memberi cap kepada siapa pun dengan apa pun. Puncak keberanianku hanya meremehkan diriku sendiri”

What’s come up on your mind? Ya Allah, kita, jangan pernah merasa lebih baik dari orang lain, jangan merasa paling benar, paling ahli ibadah, who knows? Cuma Allah. Manusia ga berhak memberi cap pada manusia lain, don’t ever do that, cause you have no right!


Ramadan Kedua.

Hal.101

Benar Marja, saya memang sesat. Karena itu Allah mewajibkan saya untuk selalu membaca ‘tunjukkanlah aku jalan yang lurus’ setiap kali saya salat. Tujuh belas kali sehari semalam.

Mau nangis baca ini, renungannya MasyaAllah. Kadang-kadang kita malah ga khusuk itu untuk memaknai apa apa yang kita baca dalam sholat. Sekali lagi, istigfar. Allah Maha Pengampun.

Ini cuma dua, setiap bab yang disampaikan banyak sekali ilmu yang bisa dipelajari, nilai moral untuk diri sendiri dan nilai moral dalam bersosial. Aku sangat-sangat merekomendasikan buku ini untuk dibaca, tulisannya santai, ringan dan sangat mudah dipahami. Terima kasih Cak Rusdi, semoga khusnul katimah, dan kita semoga selalu dalam lindungan Allah. Aamiin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Samudera Tiga Hati

Hey bloggiest, ini hasil liburan aku! Libur sebulan ngebuat aku ngeresensi salah satu novel lama yang ada di rumah, xoxo Check this out!!! Samudera Tiga Hati Judul Buku: Samudera Tiga Hati Pengarang: Susi Irma Sulasiah Penerbit: Belabook Media Kota Terbit: Jakarta Tahun Terbit: 2011 Tebal Buku: 255 Halaman Jenis Buku: Novel Sinopsis Novel: ‘Jangan kau kira cinta datang dari keakraban yang lama dan pendekatan yang tekun. Cinta adalah kesesuaian jiwa dan jika itu tidak pernah ada, cinta tak akan pernah tercipta dalam hitungan tahun bahkan abad’ *Kahlil Gibran             Novel ini menceritakan sebuah perjalanan hidup Sheryl, Beni, dan Zulfikar yang mencoba mendamaikan badai dalam hati mereka. Kehidupan keluarga mereka penuh dengan konflik dan ketidakharmonisan. Sheryl Wiryadinata, seorang Wanita berusia 42 tahun, anak dari seorang pebisnis kaya raya dan terhormat, yang meniti karier di perusahaan ayahnya hingga menduduki posisi sebagai Wakil

Jemput Terbawa

Written by Pinto Anugrah Tanpa daftar isi, begitulah buku ini adanya, diawali oleh prolog, diakhiri oleh bab 16. Terdiri dari 206 nomor halaman, ukuran buku 13x20 cm, cetakan pertama pada Maret 2018, dan diterbitkan oleh MOJOK. Jujur bingung mau nulis apa tentang buku ini, kalimat pertama yang akan kalian temukan saat memasuki isi buku: “Di langit terberita Di bumi menjadi kabar Kisah orang kami kabarkan Dusta orang kami tidak ikut serta” Jemput terbawa, maksud hati hendak menjemput kebahagiaan yang terbawa justeru kenyataan pahit. Namun, selalu ada rasa bahagia dalam setiap perjalanan hidup. Percaya, percaya! Sesungguhnya aku tidak begitu yakin dengan apa yang ku tafsirkan dan maksud Uda Pinto Anugrah dalam isi buku ini. Alur cerita maju dan mundur, latar tempat di sebuah desa, Lembah Pagadih, Agam, Sumatera Barat. Buku ini sungguh sangat kompleks, mengisahkan pahit hidup Siti Kalaya a.k.a Laya yang bertemu Mak Ujang, Nurselah dan Pajatu yang merupakan ibu dan ayah Lay